MENJEDA CINTA DIBATAS DUA DUNIA (kisah spiritual)

Penulis: Ika Kartika
Aku tahunya ini siang hari, alam tenang tak menghalangi untuk beraktivitas. Udara terasa segar menjadi selimut tempatku bekerja. Sekelilingnya hamparan padi menghijau menampakan suasana indah tatkala dipandang dari jauh.
Kerjaan hari ini sedikit longgar, aku baru masuk mengajar di kelas hanya empat jam terakhir. Namun walaupun begitu sejak pukul 07.00 udara sepoy tempatku bekerja sudah menjadi oksigen tubuhku. Begitu juga hilir mudik beberapa anak berseragam putih abu yang kebetulan sedang melakukan kegiatan diluar dengan bimbingan guru yang mengajarnya, terlihat menjadi pemandangan yang menggugah spirit kehidupan.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumusalam...masuk! "
Ujarku seraya melirik kearah pintu, dari meja tempatku beraktivitas. Terlihat seorang berseragam putih abu bersama seorang guru muda, yang selalu memberikan layanan konseling kepada lebih dari 700 anak bangsa. Tentunya satu tenaga ini memerlukan kerja ekstra, apalagi usia yang berada di generasi Z ...sangat rentan dengan banyak problem. Terkadang ini tanpa disadari oleh stakeholder-stakeholder yang cenderung tak mau berpikir.
Akupun berdiri dan menghampiri sohib kerjaku dan seorang siswi di pintu masuk ruanganku. Ada hal yang tak perlu diobrolkan di ruang kerjaku. Ini semua sudah dilakukan sharing hari sebelumnya dengan guru BK atas permasalahan yang sedang dihadapi Sita, seorang siswi yang saat ini ada bersamanya.
Kami berjalan bertiga, mengayunkan langkah menjauhi pintu ruang kerjaku, sempat mataku melihat jam tanganku, waktu menunjukan pukul 09.10 wib. Sebagian anak berseragam putih abupun ada diantaranya yang sedang berlalu lalang sekitar teras depan ruang kerjaku.
"Di mana tempatnya, Sita?"
"Belakang kelas, Pak"
Kamipun berjalan bertiga, sesekali aku berkelakar dengan rekan kerjaku yang menjadi konselor sekolah. Sesekali juga aku sapa Sita, yang kelihatan raut mukanya menoreh rasa gelisah dan khawatir. Ayunan langkah kami bertiga sempat menjadi perhatian beberapa siswa-siswi yang terlewati, namun semuanya hanya manggut dan senyum ramah menggantikan kata sapaan bagi kami selaku gurunya.
"Kamu harus tenang Sita"
Kalimat yang sempat ku lontarkan, ketika keberadaan kami ada pada titik yang sesuai dengan petunjuk Sita. Sebuah bak sampah ukuran 2×2 ada didepanku, keberadaan dalam bak itu menumpuk berbagai macam jenis sampah, yang paling menonjol adalah keberadaan berbagai tipe plastik. Dari mulai bentuk gelas, botol dan beberapa ukuran bekas bungkus-bungkus makanan. Bak tersebut berada pada lorong batas benteng sekolah dan bangunan ruang belajar dan lab, lebarnya sekitar dua meteran memanjang.
Ada hawa bercampur rasa yang sempat menyapa tubuhku, yang mungkin juga tak perlu diceritakan. Apapun adanya lingkungan pendidikan cenderung berpikir nalar yang secara logika bisa dipikirkan. Namun tak berarti mengatakan tidak untuk hal yang tak logis juga. Sebab pada akhirnya percaya terhadap hal-hal gaib itu termasuk ajaran tauhid Islam. Cukuplah rasa berujung pada saraf sekitar leher tengkukku, dan biarkan aku yang tahu.
"Ayo...bisa dimulai?"
"Takut, Pak"
"Ayo, kamu pasti bisa. Jangan Takut"
"Banyakan Pak"
Ada rasa cemas menjalar di wajah Sita. Tapi aku terus memotivasinya agar apa yang menjadi rencana hari kemarin bersama guru BK bisa terlaksana. Pikiranku mengatakan jika tak dilakukan pembicaraan langsung, boleh jadi Sita akan dihantui hal-hal yang menyiksanya. Padahal semua itu bisa dibicarakan. inilah saatnya aku memediasi, harapanku Sita terlepas dari belenggu yang selalu menerornya. Adakah ini benar berhubungan dengan dunia lain...wallahu a'lam bi murodihi.
"Mereka suka sama saya"
"Sampaikan, kenapa suka jadi harus menyakiti".
"Kemanapun mau mengikuti".
Sampaikan, "Tidak bisa begitulah. Biarkan jalan masing-masing"
"Dia tetap bersikeras Pak".
Ujar Sita manakala dirinya sudah mulai bisa mengontrol dirinya disampingku. Begitu berat dialog itu terjadi, namun aku mencoba menenangkan dan motivasinya, hal ini sangat penting untuk titik awal titiannya.
"Jangan Sita mengalah, pada hal-hal di luar nalar. Kamu harus kuat"
Begitulah ujaran yang sempat terdengar dari Bu Dwi selaku guru BK. Walau masih muda nampak semangat menyelesaikan masalah anak asuhnya terlihat begitu antusias, tak mau menyerah. Walau sebenarnya ada pada dimensi mana hal yang menimpa Sita, philologis murni apa benar ada pengaruh di luar nalar.
"Bukan begitu, Pak An?"
Kedengaran suaranya, seperti minta diyakinkan akan kebenaran prinsipnya.
"Benar, apa yang disampaikan Bu Dwi. Sita harus yakin, kita makhluk yang mulia. Ayo....lanjutkan ngobrolnya"
"Iya Pak....gitu katanya. Suka sama saya"
Sampaikan "Kenal sama Bapak mereka gak?..."
"Kenal katanya Pak"
"Bilang, Sita anak Bapak. Jangan mengganggunya"
Sita terdiam, begitupun dengan Bu Dwi diam berdiri disamping kanan Sita. Sementara aku berdiri disamping kirinya, menatap samping wajah Sita yang nampak menyembul rasa resah.
"Iya, Pak"
"Iya gimana katanya"
"Iya, tak akan mengganggu lagi Sita"
Ada terbesit ketidakmengertian atas jawaban kalimat terakhir dari Sita. Sepertinya begitu mudah negosiasi ini selesai tanpa hal yang aneh-aneh. Cinta itu ada, dan cinta itu sudah terumuskan tanpa bisa ditelusuri nalar logika aku.
"Kenapa katanya"
"Takut Pak An katanya"
Astagfirullahaladzim...Innalillahi wainnailaihi rojiun...hasbunalloh wani'mal wakill...
Wallahu...bi murodihi.