KANDARSAH DI ATAS AWAN (kisah spiritual)

admin  | 15 Sep 2022  | 319 views  |

Penulis: Ika Kartika

Bangunan megah menjulang tak terlihat tingginya, tersamarkan kabut putih yang bergulung memberi nuansa magis. Dinding tembok sekeliling, bercatkan putih berkesan suci. Ornamen relief dan mozaik-mozaik unik menjadi ukiran dan pernik sudut di ruang tertentu. Ketebalan dinding tembok begitu lebar, menjadi pertanda bangunan ini selain megah juga pasti luas.

Kaki perlahan tapi pasti menaiki tangga bangunan, sebelum kaki tertapak di terap paling awal, sepertinya kaki ini tak menapak tanah. Namun keluar meniti terap awal bangunan, beralas gumpalan awan putih semata kaki. Sempat kulirik kedua kaki sebatas meyakinkan semuanya. 

Terdorong hasrat dan penasaran, "bangunan apa ini", kakipun mulai menaiki terap demi terap tangga yang beralaskan permadani. Rasa kagum dan aneh menghantui pikiran dan hatiku. Balutan semua rasa bingungpun menjadi kental menyeruak pikiran ini, menuntun langkah kaki semakin terus berjalan, entah sudah berapa puluh titian terap tangga ku lewati, tak sempat juga berpikir untuk menghitungnya.

Sejauh itu tak bertemu siapapun. Jalanan panjang berterap-terap tangga itu, ternyata menuju satu pintu yang nampak terbuka. Sinarpun mulai nampak memberi kesan cat putih semakin bersinar.

Tiba didepan pintu, nampak mata menemukan banyak orang didalam sana, semua diam tak bersuara, mengenakan kain yang sama berwarna putih, seperti halnya aku melihat istriku melakukan sholat. Langkahku pun melewatinya dan terayun lurus pintu ke arah depan, sepertinya itu disiapkan sebagai jalan bagi orang yang mau kedepan, boleh jadi jika ada yang mau kebelakang. Nampak disana barisan orang-orang dengan mengenakan jubah dan bersorban putih menjadi pengikat peci di kepala, peci pun berwarna putih.

"Semua serba putih, sementara aku tidak" bisik hatiku.

Kaki terayun menuju barisan depan orang2 berdiri, seperti sudah tahu aku akan datang, sebab barisan itu menjadi lengkap shaf-nya dengan kehadiranku.

"Allahu Akbar"

Saat itu, semuanya hilang. Seiring biji tasbih itu terjatuh dari tangan. Matapun terbuka, yang nampak dipandangan mata hanya gorden lusuh yang menutup tempatku duduk menepi tatkala aku menemuiNya. Jauh panggang dari api, pandangan ini melihatnya sebelum biji tasbih terjatuh.

"Hasbunalloh wani'mal wakill"

Dimana itu, siapa itu bukan sesuatu yang harus dicari tahu. Beruku sebatas karena Allah, Allah pun memberi sesuatu yang tak diberikan pada orang lain.

☕☕☕

Tulisan Terkait