MENUSUKNYA LEWAT SINYAL (kisah spiritual)

admin  | 15 Sep 2022  | 418 views  |

Penulis: Ika Kartika


Hampir dua hari dua malam, aku menelusuri jalan panjang. Berawal dari kota kelahiranku bertelusur jalan tol menembus kota Solo. Setengah hari kaki berjelajah di kota batik ini. Mobilpun melanjutkan perjalanan menjelang malam ke kota Jogja. Harapanku paling telat aku harus sudah tidur nyenyak di hotel berbintang paling telat sebelum tengah malam. Namun alam berkata lain, jalan pintas yang kulalui hutan belantara yang belum jadi hunian dan permukiman rumah, ternyata sahabatku salah belok, akhirnya bertelusur jalan tikus yang tak lazim.

Ketegangan mulai terasa, tatkala di jalan itu tak sempat ada satu mobilpun berpapasan, padahal waktu yang sudah ditempuh sudah lebih dari 30 menit, begitu juga tak terlihat lampu mobil lain dibelakangku. Di depan apalagi, aku hanya menemukan balutan alam gelap gulita dengan gerakan ranting pohon-pohon yang seperti melambai-lambai mengajakku menepi. Hotmix jalan sepertinya menyamankan kondisi berputarnya laju ban mobil, namun sunyi malam, rimbun pohon-pohon besar yang alami ketika tersinari lampu mobil, membuat jantung berdegup tak beraturan. Belum lagi berkelok naik dan turun jalan, menghendaki laju mobil harus mengurangi kecepatan. Saat-saat seperti itu, rasa ciut hampir mengalahkan nyali yang kumiliki. 

Sepertinya manusia tak mungkinlah ada di wilayah seperti ini, namun kisah-kisah mistis mulai terngiang memenuhi memori kepalaku. Memang aku tak sendiri dalam mobil, temanku yang mengemudikan kendali mobil sejak masuk jalan pintas ini ada, namun diapun kelihatan tak jauh berbeda dengan yang kurasakan, diam dan tak banyak bicara penandanya.

Ketegangan bisa aku rasakan dalam benak temanku, hal ini mengingat kesehariannya yang boleh dibilang kurang bernyali, dibandingkan denganku.

"Tenang saja"

Sepenggal kata aku coba ujarkan, sebatas membangkitkan adrenalin keberaniannya, walau aku menyadari suara ini bernada tak mantap juga. Diapun tak bereaksi atas ujaranku, menandakan ada ketegangan menyelimuti tubuhnya. Sementara alam dirasakan semakin mencekam terbalut pekat malam, sinar lampu mobil yang tak berteman seolah hanya menerangi arah depan, sementara arah lain terasa menyeramkan.

Lenggok pohon kecil dan ranting yang tergerus sentuhan angin malam berirama, bergerak dalam kegelapan menumbuhkan imajinasi yang semakin mendebutkan jantung. Sesekali sinar lampu mobil menyinari rimbun semak belukar pinggiran jalan menawar rasa semakin tak down. Bunyi rem sesekali berkesan irama mistis dalam keheningan, maksud hati ingin menginjak pedal gas sepertinya, namun apa daya jalanan bertemu belokan.

AC mobil tak lagi terasa sejuk, itu bisa kurasakan manakala tubuh bagian punggung terasa hangat, bahkan bisa kurasakan punggungku lebih dari suhu hangat, sebab kaos yang kukenakan mulai terasa lembab.

Sesekali pandangan tak bisa untuk tak melihat spion mobil, baik spion luar maupun spion dalam, sepintas keadaan alam yang terlewati menyembul memapah rasa ada yang mengejar memburu laju mobil. 

Kutengok seiko di pergelangan tangan kiriku, jarum jam pendek menunjukan angka 12, sementara jarum panjangnya berada di antara angka 3 dan 4. 

"Hasbunalloh wani'mal wakill"

Hati sempat berceloteh berbisik sendiri dengan penggalan ayat itu. Ini perjuangan menunaikan tugas demi anak bangsa. Tujuan wisata study sekolah dimana tempatku bekerja, membawa aku dan sahabatku mengalami petualangan yang menguji adrenalin. Situasi seperti ini entah sampai berapa lama lagi kutelusuri, akupun tak tahu, sebab memang jalanan ini untuk pertama kalinya kutapaki. 

"Kita matikan AC"

Ujarku seraya memijit powernya, kemudian temanku seperti paham memijit tombol untuk sekedar menurunkan kaca samping kiri kanan mobil. Kuambil rokok yang sejak berangkat tersimpan Di dashboard depan, kuambil sebatang kemudian menyalakannya. Sebuah rekayasa kucoba untuk menyiasati psikologiku yang terpengaruh keadaan saat itu.

Sekitar beberapa saat, barulah ketegangan mengendur, tatkala sinar lampu mobil menepi pilar bangunan tembok, suatu pertanda belantara lebat sudah berbatasan dengan permukiman dan hunian warga. Benar saja, tak lama kemudian rumah-rumah walau ada jarak dan dalam keadaan sepi mulai aku temui. Sampai akhirnya deretan rumah terlihat padat sepanjang kiri kanan jalan mobil yang kutumpangi. Lampupun sepertinya lebih dari keadaan jalanan kota kelahiranku, bahkan lalu lalang kendaraan membuat laju mobil yang ditumpangi olehku mengharuskan berhenti terhalangi angkot yang berhenti di stop orang. Padahal ketika kulirik seikoku, jarum jam menunjukan pukul 2 dini hari.

Perjalanan kemarin-kemarin membuat Kiki kurang fokus, banyak hal yang memasuki memori pikirannya saat bertelusur sepanjang jalan itu. Semenjak mobil keluar kota Jogja untuk kembali menuju kampung halaman, Kiki merasakan banyak hal yang belum sempat terkabarkan sama sahabatnya.

"Jo...ko bengong saja, kita makan dulu dong".

"Ok...nyampe mana ini? "

"Ah, kamu Jo...berjam-jam jalan pikiranmu ada dimana. Kita sampai di perbatasan kota kelahiran kita"

Kiki yang semenjak keluar dari kota Jogja pegang kendali stirpun, menepuk bahu kawannya. Kemudian nampak membuka pintu mobil untuk turun.

Ternyata mobil sudah masuk area parkiran sebuah rumah makan. Dua sahabat sejak kecil inipun sudah asyik sambil ngobrol menyantap menu makan yang dipesannya. Kebiasaan Kiki sebagai pecandu kafein, sepertinya secangkir kopi lebih memberi rasa nikmat sebagai penyempurna makan. Saat itupun Kiki sudah asyik dengan kepulan asap dan secangkir kopi, disamping Jonda, kawannya. Jonda sendiri malah seperti sangat lapar, nampak ia asyik melahap makanannya tak terpengaruh kawannya.

Tut...tut...tut...getar HP  menimbulkan suara yang mengusik ketenangan Kiki.

"Assalamu'allaikum"

Terdengar suara Kiki, selang beberapa saat setelah mengangkat HPnya. Perbincanganpun terlihat antara Kiki entah dengan siapa, Jonda sendiri tak tahu, walau sempat matanya melirik kawannya beberapa kali, saat sedang berbicara.

"Siapkan air di gelas. HP ibu, dekatkan speakernya di atas bibir gelas. Saya tutup dulu ya bu, nanti saya bel...lakukan sesuai petunjuk saya. Assalamu'allaikum"

Kiki menutup obrolannya, matanya menatap jauh kedepan.

"Siapa?"

"Itu dari sekolah, katanya ada anak yang kesurupan"

"Terus..."

"Ya mau gimana, kita kan masih di sini. Perjalanan kita kalau mau sampai sana paling cepat satu jam"

Jonda memandang wajah temannya, Jonda tahu temannya ini memang menjadi tempat rujukan manakala ada peristiwa seperti itu. Rujukan itu semakin kuat seperti sudah jadi sugesti, sebab memang hal seperti itu jika terjadi endingnya beres, anak kembali seperti sedia kala.

Kiki nampak menyentuh layar HP dengan telunjuknya. Tak lama, HP ditepikan ditelinganya. Sorot matanya menatap jauh kedepan, entah apa yang menjadi fokus penglihatannya, sebab saat Jonda mencoba mengikuti arah tatapan sahabatnya, dia tak menemukan titik fokus yang menarik dilihat. Disana hanya nampak kolam kecil yang menjadi taman hiasan rumah makan, dan beberapa ekor ikan koi saling berkejaran.

Beberapa saat bibir Kiki kelihatan bergerak, seperti berkata-kata...namun tak terdengar sepatah katapun terdengar ditelinga Jonda. Agak lama juga hal ini terjadi, Jonda sendiri tak berani mengusik aktivitas temannya, kecuali sesekali melirik memperhatikannya. 

"Persis orang gila kamu ... Kiki".

Begitu ujaran yang terbesit sempat berceloteh di dalam hati Jonda. Tapi ada rasa paham yang sempat meramu pikiran Jonda terhadap karakter temannya ini. Teman yang satu ini, memang  tak pernah berkata tidak apabila ada hal-hal yang dirujukan kepadanya. Pernah hal ini kutanyakan padanya, jawabannya simple.

"Dalam ketidaktahuanku, aku ingin memberi sesuatu. Dalam kebodohanku aku ingin minimal bisa memotivasi siapapun. Adapun hasilnya seperti apa...aku serahkan kepada Allah".

Itu Tutur kata yang sempat kuingat dari temanku yang satu ini. Mungkin boleh jadi hal yang sedang dilakukan sekarang juga karena prinsip itu. Sebab tadi waktu ada telepon dari sekolah, dia mengatakan ada anak yang kesurupan.
Tapi apa iya, dia yang ada denganku disini...bisa menyembuhkannya?

Kiki nampak sudah menutup kembali HPnya, kemudian menyimpan di atas meja persis di depan tempat dia duduk. Tangannya kanannya menggapai gelas kopinya, kemudian meneguknya dan menyimpannya lagi. Asap rokok nampak bergulung persis di depan wajahnya, tak lama terurai tersapu hembusan angin yang menerpanya.

Sunyi sesaat keadaan sekitar tempat Kiki dan Jonda duduk. Kiki tak tahu sedang kemana membawa pikirannya, sementara Jonda seakan tak ingin memulai mengusik kawannya itu. Jonda paham ada hal yang sedang sahabatnya kerjakan, walau hal itu sulit diterima akal.

Tut...tut...tut...

Getar HP di atas meja, sempat rasanya mengagetkan dua sekawan yang sedang asyik dengan pemikiran sendiri-sendirinya. Tak urung empat pasang mata, beralih fokus tatapannya sama HP yang bergetar. Kikipun mengambilnya, dan mengangkat HP tanpa melihat layar, siapa gerangan yang menghubunginya.

"Waalaikumsalam"

Suara Kiki dengan nada santai terucap, sementara Jonda hanya bisa menatapnya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk, karena hatinya yakin itu kontak dari sekolah. Lebih penasaran lagi kabar apa yang bisa didengar atas komunikasi yang sedang terjadi antara sahabatnya dengan sekolah tempatnya dan sahabatnya bekerja.

"Hallo...anakku, apa kabar?".

"Kenapa Resti..."

"Ayo kamu jangan banyak bengong"

"Isi hatimu dengan istighfar..."

"Apapun aktivitas kita...temani dengan hati yang selalu istighfar. Sebab lafaz itu yang akan membuatmu terjaga dari hal-hal yang mungkin usil atau mengganggu, atau boleh jadi terlalu jauhnya angan dan ingin kamu".

"Kamu ingat pesan bapak, Resty....istighfar"

"Hasbunalloh wani'mal wakill..."

Jonda termangu, mendengar sahabatnya nyerocos berkata-kata yang membuat pikirannya sedikit bingung. Siapa yang berbicara diseberang sana...Resty itu kan siswa...kenapa dengan Resty...apa Resty yang kena masalahnya...?

Matanya tetap mantap memandang sahabatnya yang sedang berkata-kata lewat HPnya. Dengan segudang penasaran di hati, Jonda tetap diam, hanya menghadirkan beberapa celotehan hati menyaksikan sesuatu yang terjadi dihadapannya.

Tak bermaksud mengkultus sahabatnya hebat, tapi sulit juga untuk tidak berpikirnya, jika yang sedang bicara itu Resty...tentu hal yang menimpanya sudah tersolusikan. Tanpa disadari Jonda, kepalanya bergerak menggeleng-geleng seraya pandangan menatap Kiki yang masih sedang berbicara melalui HP.

"Sinyal itu telah menjadi perantara hebatnya Allah"

☕☕☕

Tulisan Terkait